museum mbojo sebagai salah satu bukti adanya kerjaan di Bima |
Pertama, ilmu arkeologi yang selama ini hanya mengungkapkan segelintir peninggalan yang terpisah-pisah. Namun ilmu arkeologi itulah yang barangkali akan berhasil menentukan patokan-patokan kronologi terpenting dari masa prasejarah sampai masa Islam. Kedua, sejumlah dokumen dalam bahasa Melayu yang ditulis di Bima antara abad ke-17 sampai dengan abad 20. Bahasa Bima merupakan bahasa setempat yang dipakai sehari-hari di Kabupaten Bima dan Dompu (nggahi Mbojo). Bahasa tersebut jarang, dan sejak masa yang relatif muda, digunakan secara tertulis. Beberapa teks lama yang masih tersimpan dalam bahasa tersebut, tertulis dalam bahasa Arab atau Latin. Tiga jenis aksara asli Bima pernah dikemukakan oleh pengamat-pengamat asing pada abad ke-19, tetapi kita tidak mempunyai contoh satu pun yang membuktikan bahwa aksara tersebut pernah dipakai. Oleh karena itu bahasa Bima rupanya tidak pernah menjadi bahasa tertulis yang umum di daerah tersebut. Pada jaman dahulu, bahasa lain pernah digunakan.
Dua prasasti telah ditemukan di sebelah barat Teluk Bima, satu agaknya dalam bahasa Sanskerta, yang lain dalam bahasa Jawa kuno. Selanjutnya bahasa Makassar dan bahasa Arab kadang-kadang dipakai juga. Ternyata sejak abad ke-17 kebanyakan dokumen tersebut resmi ditulis di Bima dalam Bahasa Melayu.
Tulisan di atas dikutip dari buku Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, karya Henry Chambert-Loir penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2004.
Bima di bagi dalam 4 jaman, yaitu jaman Naka (Prasejarah), jaman Ncuhi (Proto Sejarah), jaman Kerajaan (Masa Klasik), dan jaman kesultanan (Masa Islam).
1. Jaman Naka (Prasejarah)
Kebudayaan masyarakat Bima pada jaman Naka masih sangat sederhana. Masyarakat belum mengenal sistem ilmu pengetahuan dan teknologi, pertanian, peternakan, pertukangan atau perindustrian serta perniagaan dan pelayaran. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka mencari dan mengumpulkan kekayaan alam yang ada disekitarnya seperti umbia-umbian, biji-bijian dan buah-buahan. Selain mencari dan mengumpulkan makanan untuk kebutuhan sehari-hari, mereka juga sudah gemar berburu. Dalam istilah ilmu arkeologi, karena mereka mengumpulkan makanan dari hasil kekayaan alam disebut masyarakat pengumpul (Food Gathering).
Kehidupan masyarakat pada jaman Naka (Prasejarah) selalu berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Masyarakat pada jaman Naka sudah mengenal agama atau kepercayaan. Kepercayaan yang meraka anut pada masa itu disebut Makakamba dan Makakimbi, yang dalam ilmu sejarah disebut kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Menurut kayakinan mereka pada masa itu, alam beserta isinya diciptakan oleh Maha Kuasa, disebut Marafu atau Tuhan. Marafu tersebut merupakan tempat semayam di mata air, pohon-pohon besar atau batu-batu besar. Dan tempat untuk bersemayamnya Marafu tersebut Parafu Ro Pamboro.
Pada saat itu juga mereka melakukan upacara pemujaan terhadap Makakamba Makakimbi di tempat bersemayamnya Parafu yaitu Parafu Ro Pamboro. Upacara yang mereka lakukan disebut “Toho Dore”. Dalam upacara tersebut dibacakan mantra atau do’a serta persembahan dan dalam tradisi upacara “Toho Dore” diberikan berupa sesajen dan penyembelihan hewan. Upacara tersebut dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut Naka.
Naka adalah bukan hanya sebagai seorang pemimpin agama tetapi Naka juga merupakan pemimpin dalam kehidupan sehari-hari. Naka tersebut sangat dihormati, sehingga masyarakat pada masa itu, selain menyembah Marafu, mereka juga sangat menghormati arwah leluhur terutama arwah Naka. Masyarakat pada masa itu, sangat menjunjung tinggi asas Mbolo Ro Dampa (Musyawarah) dan Karawi Kaboju (Gotong Royong). Segala sesuatu selalu dimusyawarahkan.
2. Jaman Ncuhi (Proto Sejarah)
Demikian jaman Naka berakhir, masyarakat Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman Ncuhi. Pada jaman Ncuhi, sekitar abad ke 8 M, masyarakat Bima mulai berhubungan dengan para pedagang dan musafir yang berasal dari daerah lain. Para pedagang dan musafir itu berasal dari Jawa, Sulawesi Selatan, Sumatera dan Ternate. Pada saat itulah masyarakat Bima sudah mengenal sistem ilmu pengetahuan dan teknologi, pertanian, peternakan, pertukangan dan pelayaran serta perniagaan.
Sejak itulah keadaan Dana Mbojo sudah mulai berubah dan masyarakat sudah mulai tinggal menetap dan mendirikan rumah. Sehingga lahir adanya Kampung, Kota dan Desa. Keadaan dou Labo Dana (Rakyat dan Negeri) mulai berkembang, seperti diibaratkan sebagai sebatang pohon yang mulai Ncuhi atau Ncuri (yang mulai Bertunas dan Berkuncup), karena itu, jaman awal kemajuan maka disebut jaman Ncuhi. Dan pemimpin mereka pada saat itu disebut Ncuhi. Sehingga Ncuhi bukan hanya sebagai pemimpin pemerintahan, tetapi Ncuhi juga sebagai pemimpin agama. Pada masa Ncuhi, masyarakat masih menganut terhadap kepercayaan Makakamba dan Makakimbi.
Walaupun ilmu pengetahuan dan teknologi sudah berkembang, namun Ncuhi bersama rakyat tetap memegang teguh asas Mbolo Ro Dampa dan Karawi Kaboju. Ncuhi tetap berlaku adil dan bijaksana. Maka, Ncuhi harus berperan sebagai “Hawo Ro Ninu” rakyat (Pengayom dan Pelindung rakyat) dan Ncuhi juga harus memegang teguh falsafah Maja Labo Dahu (Malu dan Takut).
Kian lama masyarakat Bima melakukan hubungan dengan para pedagang dan musafir dari daerah luar semakin intim. Sehingga para pedagang dan musafir dari seluruh pelosok nusantara, terutama para pedagang dan musafir dari Jawa Timur semakin bertambah. Para pedagang dan musafir dari Jawa Timur mendirikan perkampungan di pesisir Barat Teluk Bima, yaitu desa Sowa Kecamatan Donggo sekarang. Sampai sekarang bekas pemukiman mereka masih dapat disaksikan sebagai peninggalan sejarah atau dalam istilah ilmu arkeologi yaitu disebut situs yang oleh masyarakat diberi nama Wadu Pa’a (Batu Pahat). Salah seorang tokoh pedagang dan musafir Jawa Timur yang terkenal pada saat itu yaitu bernama Sang Bima. Sang Bima tersebut menjalin hubungan persahabatn dengan para Ncuhi, yaitu ncuhi Dara.
Dengan keadaannya masyarakat Bima sekian lama semakin maju. Kehidupan masyarakat semakin bertambah makmur dan sejahtera dan mereka hidup rukun dan damai. Tetapi asas Mbolo Ro Dampa dan Karawi Kaboju tetap diamalkan dan falsafah Maja Labo Dahu tetap dijunjung tinggi.
Untuk meningkatkan persatauan dan kesatuan, seluruh Ncuhi mengadakan Mbolo Ro Dampa di sebuah Babuju di wilayah Ncuhi Dara. Dalam keputusan Mbolo Ro Dampa :
- Masyarakat dan seluruh Ncuhi, mengangkat Ncuhi Dara sebagai pemimpin masyarakat Bima.
- Ncuhi Parewa diangkat menjadi pemimpin di wilayah Selatan, yaitu di kecamatan Belo, Woha dan Monta sekarang.
- Ncuhi Bangga Pupa diangkat menjadi pemimpin di wilayah Utara, yaitu di kecamatan Wera sekarang.
- Ncuhi Bolo diangkat menjadi pemimpin di wilayah Barat, yaitu di kecamatan Bolo dan Donggo sekarang.
- Ncuhi Doro Woni diangkat menjadi pemimpin di wilayah Timur, yaitu di kecamatan Wawo dan Sape sekarang.
3. Jaman Kerajaan (Masa Klasik)
Sebelum langsung terjadinya ke jaman kerajaan, menurut dalam cerita legenda dalam kitab BO (catatan kuno kerajaan Bima) bahwa Sang Bima pertama kali berlabuh di pulau Satonda, kemudian bertemu dengan seekor naga bersisik emas. Sang naga melahirkan seorang putri dan kemudian diberi nama putri Tasi Sari Naga. Sang Bima menikahi putri Tasi Sari Naga dan melahirkan dua orang putra yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala. Kedua putra Sang Bima tersebut kelak menjadi cikal bakal keturunan raja-raja Bima. Setelah Sang Bima bertemu dengan putri Tasi Sari Naga yang merupakan seorang putri dari penguasa setempat (Ncuhi) di pulau Satonda, sejak itu Bima mempunyai hubungan nyata dengan pulau Jawa. Sang Bima juga diduga seorang bangsawan Jawa. Bima tercatat dalam kitab Negarakertagama, wilayah kekuasaan Majapahit.
Sebelum mendirikan kerajaan, semua Ncuhi membentuk kesatuan wilayah di bawah pimpinan Ncuhi Dara. Selama puluhan tahun Sang Bima berada di Jawa Timur, Sang Bima mengirim dua orang putranya, yaitu Indra Zamrud dan Indra Kumala. Indra Zamrud dijadikan anak angkat oleh Ncuhi Dara sedangkan Indra Kumala dijadikan anak angkat oleh Ncuhi Doro Woni. Kemudian semua Ncuhi melakukan Mbolo Ro Dampa untuk menentukan sebagai pemimpin atau raja di Bima dan Dompu. Hasil kesepakatan dari semua Ncuhi, Indra Zamrud dijadikan sebagai sangaji atau raja di Bima sedangkan Indra Kumala dijadikan sebagai sangaji atau raja di Dompu.
Indra Zamrud di Tuha Ro Lanti atau dinobatkan menjadi sangaji atau raja pertama di Bima. Setelah Indra Zamrud memiliki ilmu pengetahuan dalam pemerintahan. Maka, berakhirlah jaman Ncuhi dan masyarakat Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Dalam kepemimpinan bukanlah dipegang oleh Ncuhi, tetapi dipegang oleh sangaji atau raja.
Sejak berdirinya kerajaan sekitar pertengahan abad 11 M, dana Mbojo memiliki dua nama, yaitu nama Mbojo dan Bima. Masa pertumbuhan masa kerajaan Bima, setelah dilantik menjadi sangaji atau raja, untuk membangun kerajaan, Indra Zamrud dibantu oleh para Ncuhi, terutama Ncuhi Dara, Ncuhi Parewa, Ncuhi Bolo, Ncuhi Bangga Pupa dan Ncuhi Doro Woni. Nama jabatan pada masa kerajaan terebut yaitu jabatan seperti Tureli Nggampo atau Rumabicara (Perdana Menteri), Tureli (Menteri), Rato Jeneli, Gelerang dan Jabatan lain yang mulai populer pada masa sangaji Manggampo Donggo. Tureli Nggampo atau Rumabicara yang terkenal, yaitu bernama Bilmana.
4. Zaman Kesultanan (Masa Islam)
Peristiwa-peristiwa dalam menjelang berdirinya masa kesultanan Bima, kerajaan mengalami kekacauan. Singkat dari cerita legenda, Salisi salah seorang putra sangaji Ma Wa’a Ndapa, karena ingin menjadi sangaji. Ia membunuh sangaji Samara dan jena Teke Ma Mbora Mpoi Wera. Dan Salisi juga mencoba berusaha ingin membunuh Jena Teke La Ka’i yang merupakan putra dari sangaji Asi Sawo. Sehingga Jena Teke La Ka’I terpaksa meninggalkan istana.
Setelah dalam kerajaan Bima mengalami kemunduran kemudian muncul dengan kedatanganya masa Islam. Dengan kedatangannya masa Islam dapat mempengaruhi dengan berakhirnya masa kerajaan menjadi lahirnya masa kesultanan.
Masuk dan berkembangnya agama Islam di Bima, melalui beberapa tahap sebagai berikut :
1. Tahap pertama dari Demak sekitar tahun 1540 M
Pada tahun 1540 M, para mubalig dan pedagang dari Demak dibawah pimpinan Sunan Prapen yang merupakan putra dari Sunan Giri dating ke Bima dengan tujuan untuk menyiarkan agama Islam. Pada masa itu yang memerintah di kerajaan Bima adalah sangaji Manggampo Donggo. Usaha yang dilakukan oleh Sunan Prapen kurang berhasil, karena pada tahun 1540 M Demak mengalami kekacauan akibat mangkatnya Sultan Trenggono.
2. Tahap kedua dari ternate sekitar tahun 1580 M
Pada tahun 1580 M, sultan Bab’ullah mengirim para mubalig dan pedagang untk menyiarkan agama Islam di Bima. Ketika masa itu kerajaan Bima, yang memerintah adalah sangaji Ma Wa’a Ndapa. Penyiar agama Islam yang dilakukan oleh Ternate, tidak dapat berlangsung lama, sebab di Ternate timbul kesultanan politik, setelah Sultan Bab’ullah mangkat.
3. Tahap ketiga dari Sulawesi Selatan sekitar tahun 1619 M
Pada tanggal 14 Jumadil awal 1028 H (tahun 1619 M), Sultan Makassar Alauddin awalul Islam mengirim empat orang mubalig dari Luwu, Tallo dan Bone untuk menyiarkan agama Islam di kerajaan Bima. Para muballig tersebut berlabuh di Sape dan mereka tidak dating ke istana, karena pada saat itu istana sedang dikuasai oleh Salisi. Kedatangan para Muballig tersebut disambut oleh La Ka’I yang sedang berada di Kalodu. Pada tanggal 15 Rabiul awal 1030 H, La Ka’I beserta pengikutnya memeluk agama Islam. Sejak itu mereka mengganti nama :
- La Ka’I menjadi Abdul kahir
- La Mbila putra Ruma Bicara Ama Lima Dai menjadi Jalaluddin
- Bumi Jara Mbojo di Sape menjadi Awaluddin
- Manuru Bata putra sangaji Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese menjadi Sirajuddin.
Referensi Buku Sejarah Mbojo Bima (M. Hilir Ismail)
Sejarah Berdiri, Runtuh dan Perkembangan Islam di Kerajaan Bima
A. Peristiwa Penting Menjelang Berdirinya Kerajaan.
Kehadiran sang Bima pada abad 11 M, ikut membantu para ncuhi dalam
memajukan Dana Mbojo. Sejak itu, ncuhi Dara dan ncuhi-ncuhi lain mulai mengenal
bentuk pemerintahan kerajaan. Walau sang Bima sudah kembali ke kerajaan Medang
di Jawa Timur, namun tetap mengadakan hubungan dengan ncuhi Dara. Karena
istrinya berasal dari Dana Mbojo Bima.
Sebelum mendirikan kerajaan, semua ncuhi sepakat membentuk kesatuan wilayah
di bawah pimpinan ncuhi Dara. Setelah puluhan tahun berada di Jawa Timur, sang
Bima mengirim dua orang putranya, yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala ke
Dana Mbojo. Indra Zamrud dijadikan anak angkat oleh ncuhi Dara. Sedangkan Indra
Kumala menjadi anak angkat ncuhi Doro Woni. Seluruh ncuhi sepakat untuk
mencalonkan Indra Zamrud menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo. Sedangkan Indra
Kumala dicalonkan untuk menjadi Sangaji di Dana Dompu.
Indra Zamrud di tuha ro lanti atau dinobatkan menjadi Sangaji atau Raja
yang pertama.
Setelah Indra Zamrud dewasa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam bidang pemerintahan, maka pada akhir abad 11 M, ia di tuha ro lanti oleh Ncuhi Dara. Dengan persetujuan semua ncuhi, untuk menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo yang pertama. Dengan demikian berakhirlah jaman ncuhi. Masyarakat Mbojo Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Pimpinan pemerintahan bukan lagi dipegang oleh ncuhi, tetapi dipegang oleh Sangaji atau Raja.
Setelah Indra Zamrud dewasa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam bidang pemerintahan, maka pada akhir abad 11 M, ia di tuha ro lanti oleh Ncuhi Dara. Dengan persetujuan semua ncuhi, untuk menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo yang pertama. Dengan demikian berakhirlah jaman ncuhi. Masyarakat Mbojo Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Pimpinan pemerintahan bukan lagi dipegang oleh ncuhi, tetapi dipegang oleh Sangaji atau Raja.
Sejak berdirinya kerajaan di sekitar pertengahan abad 11 M, Dana Mbojo memiliki
dua nama. Kerajaan yang baru didirikan itu, oleh para ncuhi bersama rakyat
diberi nama Mbojo. Sesuai dengan kesepakatan mereka dalam musyawarah di Babuju.
Tetapi oleh orang-orang Jawa, kerajaan itu diberi nama Bima. Diambil dari nama
ayah Indra Zamrud yang berjasa dalam merintis pendirian kerajaan. Sampai
sekarang Dana Mbojo mempunyai dua nama, yaitu Mbojo dan Bima. Dalam masa selanjutnya, Mbojo
bukan hanya nama daerah, tetapi merupakan nama suku yang menjadi penduduk di
Kabupaten Bima dan Dompu sekarang. Sedangkan Bima sudah menjadi nama daerah
bukan nama suku.
Pada masa kesultanan, suku Mbojo membaur atau melakukan pernikahan dengan
suku Makasar dan Bugis. Sehingga adat istiadat serta bahasanya, banyak
persamaan dengan adat istiadat serta bahasa suku Makasar dan Bugis. Dou Mbojo yang enggan membaur
dengan suku Makasar dan Bugis, terdesak ke daerah Donggo atau pegunungan. Oleh
sebab itu, mereka disebut Dou Donggo atau orang pegunungan. Dou Donggo
mempunyai adat istiadat serta bahasa yang berbeda dengan dou Mbojo.
Dou Donggo bermukim di dua
tempat, yaitu disekitar kaki Gunung Ro’o Salunga di wilayah Kecamatan Donggo
sekarang dan di kaki Gunung Lambitu di wilayah Kecamatan Wawo sekarang. Yang
bertempat tinggal di sekitar Gunung Ro’o Salunga, disebut Dou Donggo Ipa (orang
Donggo seberang), sedangkan yang berada di kaki Gunung Lambitu, disebut Dou
Donggo Ele (orang Donggo Timur).
B. Proses Masuk dan
Berkembangnya islam di Kerajaan Bima
Kerajaan Gowa Tallo memegang peranan
penting dalam proses konversi Bima ke Islam. Saat itu, pada abad ke 17 M,
Belanda telah menguasai sebagian besar jalur perdangangan bagian barat. Untuk
mencegah jalur timur direbut Belanda, Maka Gowa mengirim expedisi untuk
menaklukkan kerajaan pada pantai timur yaitu lombok dan bima. Kerajaan-kerajaan
ini berhasil ditaklukkan dan di Islam kan oleh Gowa pada tahun 1609 M . Seiring
dengan masuknya islam maka peradaban tulis juga berkembang.
Beberapa bulan setelah memeluk agama
Islam, Jena Teke Abdul Kahir bersama pengikut didampingi oleh beberapa orang
gurunya dari Sulawesi Selatan kembali menuju Dusun Kalodu. Setelah berada di
Kalodu mereka mendirikan sebuah Masjid, selain sebagai tempat ibadah juga
menjadi pusat kegiatan dakwah. Mulai saat itu Dusun Kalodu menjadi pusat
penyiaran Islam, selain Kampo Sigi (Kampung Sigi ) di sekitar Desa NaE
kecamatan Sape.
Dari puncak Kalodu, Islam semakin
bersinar terang menyelimuti kegelapan Bumi Bima. Seluruh rakyat menyambut
gembira instruksi Putera Mahkota Abdul Kahir untuk memeluk Islam. Salisi
semakin berang. Dengan bantuan Belanda ia terus mengejar dan menyerang Pasukan
Abdul Kahir. Proses pengejaran itu mulai dari Kalodu, Sape hingga mencapai
puncaknya di Wera. Di sinilah terjadi pertempuran habis-habisan hingga
menewaskan Panglima Perang Rato Waro Bewi di Doro Cumpu desa Bala
kecamatan Wera. Berkat kerja sama dan kelihaian orang-orang Wera, Abdul Kahir
dan teman seperjuangannya dapat diselamatkan ke Pulau Sangiang yang
selanjutnya dijemput perahu-perahu dari Makassar.
Di Makassar, Empat serangkai Abdul
Kahir, Sirajuddin, Awaluddin dan Jalaluddin dibina dan dilatih taktik perang.
Di tanah ini pula mereka memperdalam ajaran Islam. Hingga setelah segala
persiapan dimatangkan, Sultan Alauddin Makassar mengirim ekspedisi penyerangan
terhadap Salisi. Dalam sejarah Bima tercatat dua kali ekspedisi ini dikirim
untuk menaklukkan Salisi namun gagal. Pasukan Makassar banyak yang tewas dalam
dua ekspedisi ini. Untuk ketiga kalinya pada tahun 1640 M, ekspedisi baru
berhasil. Pada tanggal 5 Juli 1640 M Putera Mahkota Abdul Kahir berhasil
memasuki Istana Bima dan dinobatkan menjadi Sultan Bima pertama yang diberi
gelar Ruma ta Ma Bata Wadu (Taunku Yang bersumpah Di Atas Batu). Sedangkan Sirajuddin
terus mengejar Salisi hingga ke Dompu. Sirajuddin selanjutnya mendirikan
Kesultanan Dompu. Jalaluddin kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri (Ruma
Bicara) pertama dan diberi gelar Manuru Suntu, dimakamkan di
kampung Suntu (Halaman SDN 3 Bima sekarang).
Tanggal 5 Juli 1640 M menjadi saksi
sejarah berdirinya sebuah kesultanan di Nusantara Timur dan Terus berkiprah
dalam percaturan sejarah Nusantara selama 322 tahun. Untuk itulah pada setiap
tanggal 5 Juli diperingati sebagai hari Jadi Bima. Seperti telah menjadi takdir
sejarah pula, bahwa kesultanan Bima diawali oleh pemimpinnya yang bernama Abdul
Kahir I dan berakhir pula dengan Abdul Kahir II (Putera Kahir). Dua tokoh
sejarah itu kini tidur dengan tenang untuk selama-lamanya di atas bukit Dana
Taraha Kota Bima. (Sumber : Kitab BO ; Peranan Kesultanan Bima
Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, M. Hilir Ismail ; Novel Sejarah Kembalinya
Sang Putera Mahkota, Alan Malingi )
D. Penyebab
Berakhirnya Kerajaan Bima
Kesultanan Bima berakhir ketika
Indonesia berhasil meraih Kemerdekaan pada tahun 1945. Saat itu, Sultan
Muhammad Salahuddin, raja terakhir Bima, lebih memilih untuk bergabung dengan
Negara Kesatuan Indonesia. Siti Maryam, salah seorang Putri Sultan, menyerahkan
Bangunan Kerajaan kepada pemerintahan dan kini di jadikan Museum. Di antara
peninggalan yang masih bisa di lihat adalah Mahkota, Pedang dan Funitur.
Sumber :
1. Kitab BO ; Peranan Kesultanan Bima
Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, M. Hilir Ismail ; Novel Sejarah Kembalinya
Sang Putera Mahkota, Alan Malingi
3. melayuonline.com/ind/history/dig/328/kerajaan-bima
Makam bumi jara ada di mana...?
BalasHapusdimana makam raja sulatan muhammad salahudin
BalasHapusDi rade raja
HapusCeritanya ngarang
BalasHapusPasti sumbernya dari internet
Anaknya Bima sigatot kaca mw di kemanain
Informasinya sangat bermanfaat untuk pengetahuan
BalasHapusnama bima sendiri tak ada kaitan dengan jawa, dri sumber yg berbeda, nama bima berasal dari bahasa armen yg merukjuk pada topologi geografis bima, yg daerah masuknya melewati celah laut yg sempit mirip dgn lubang jarum, bima sendiri dalam bahasa armenia berarti lubang jarum, dan agama islam sendiri sudah eksis di bima sejak abad ke 10,
BalasHapus